Pemuda Desa Masa Depan Indonesia #07
Lahir di desa, dibesarkan di desa, dan sekarang masih tinggal di desa. Nyaman dan nikmat hidup di desa. Bertemu langsung dengan masyarakat yang ikatannya masih terjalin kuat.
Desa saya di Pasir Angin. Saat kecil sudah bermain bersama alam. Memanfaatkan alam untuk menjadi suatu permainan yang menyenangkan. Hari-hari saya habiskan dengan kawan di desa untuk bermain dengan ala-ala tradisional. Biasanya selepas pulang sekolah -SD waktu itu- kami mengisi dengan beragam permainan khas Sunda. Inilah suatu kenikmatan yang saya rasakan dulu.
Gobak sodor atau di Sunda dikenal dengan galah asin menjadi suatu permainan yang mengisi hari-hari di saat kecil. Kemudian kelereng, layang-layang, sepak bola, karet, sondah, lalaheran, sosorodotan, oray-orayan, boy boyan, bebentengan, ucing sumput, congklak, sondah, endog-endogan, perepet jengkol, dan permainan lainnya membuat saya berkesan. Apalagi ketika kawan-kawan saya di desa yang selalu menjaga persatuan. Walaupun beberapa saat terjadi gesekan, tapi kembali lagi bersatu. Itu adalah hal biasa, proses sosial.
Namun, dari semua permainan di atas, permainan yang sering kami lakukan ketika masa kecil adalah sepak bola. Permainan inilah yang menjadi suatu hobi kami. Bahkan, ketika dulu ditanya, "cita-citanya mau jadi apa?" Rata-rata ingin menjadi sepak bola. Mungkin saat itu pola pikir kami masih sempit. Kalau sekarang saya kurang tau apa cita-citanya, tapi alhamdulillah sudah banyak yang kerja.
Perjuangan bermain bola tak biasa. Kami tidak punya lapangan tetap kala itu. Adapun yang awalnya sering digunakan, beberapa waktu kemudian dijadikan rumah kontrakan. Alhasil, kami bermain bola harus ke lapangan yang cukup jauh.
Ada lapangan di daerah Babakan Sirna (BBS). Lapangan ini sempat menjadi latihan rutinitas kami. Biasanya kami pergi saat pagi buta. Kadang lari bareng-bareng, kadang juga kami nebeng ke orang lain. Kalau ada mobil terbuka, kami ikut. Inilah momen kebersamaan kami yang sampai saat ini kesannya masih saya rasakan.
Selain lapangan itu, kami kemudian membuka lapangan baru di Kebon Salapan -salah satu kebun yang luas di kampung kami- bersama tokoh bola yang kemudian melatih kami. Lapangan yang tadinya garung hingga rapi dan nyaman saat bermain bola karena sering kami gunakan. Kalau ke lapangan ini, kami harus melewati berbagai perkebunan. Membutuhkan 10-15 menit untuk tiba di lapangan ini.
Lapangan lain juga ada di daerah Waru. Lapangan ini dulu-dulu banyak kotoran kuda di pinggir-pinggirnya, karena ini adalah lapangan kuda, namun dijadikan lapangan bola. Semakin ke sini, saya amati jarang kuda ke lapangan ini. Kalau sekarang gatau bagaimana perkembangannya. Sudah lama juga tak bermain bola. Hehe...
Lapangan besar biasanya kami gunakan setiap satu pekan sekali. Namun, untuk sehari-hari biasanya di lapangan kecil. Ada salah satu vila yang sering kami gunakan untuk main bola. Kadang sambil huhujanan kami bermain bolanya. Oh iya, posisi saya kalau main bola ada di bagian penyerang. Entah mengapa dulu diandalkan di sana. Kalau sekarang main, mungkin skill-nya tidak terlalu banyak perkembangan. Berbeda dengan kawan saya yang sering latihan, skill dalam bermain bolanya pasti lebih terasah.
Pengalaman menarik lainnya di desa adalah bermain layangan. Di desa kami layangannya sering diadu. Juntai, itulah istilah layangan yang kalah diadu. Biasanya kami ngotok layangan yang juntai itu. Sampe-sampe menginjak ladang orang. Gak melihat kondisi sekitar. Tujuannya hanyalah satu, mengejar layangan yang kalah itu. Kalau sekarang dipikir, kenapa ya mau ngejar layangan yang dulu harganya hanya 500 rupiah? Terlepas dari pikiran itu, yang pasti pada masa kecil semua itu kami lakukan dengan senang hati. Uang 500 juga sangat berharga bagi kami.
Banyak momen-momen yang indah di masa kecil. Pasti orang-orang juga akan merasakan momen itu. Momen yang akan terulang selama kehidupan. Momen yang mungkin tidak akan terasakan oleh anak-anak sekarang.
Saya amati, kondisi anak sekarang dengan zaman saya sangat berbeda. It's okay, tapi semoga dengan kecanggihan teknologi ini bukan untuk membodohi anak-anak sekarang, tapi untuk menjadikan anak-anak yang unggul, cerdas, dan berkarakter.
Oh iya, semenjak SMP saya sudah jarang bermain dengan kawan-kawan di desa. Saya mencoba untuk membuka mata yang nantinya juga akan saya berikan untuk desa. Mungkin butuh waktu yang lama, karena saya harus berlayar ke berbagai tempat, mencari ilmu, pengalaman, dan semua itu setidaknya menjadi bekal saya untuk membangun desa dengan potensi yang saya punya.
Beberapa kali saya sering mendengar Pak Sofyan Sjaf, salah satu dosen saya di kampus mengatakan bahwa desa adalah masa depan Indonesia. Awalnya saya kurang paham, apa maksudnya desa masa depan Indonesia? Seiring berjalannya waktu saya mulai memahami dan setuju bahwa masa depan Indonesia ada di desa. Bahkan, kalau tidak ada desa, tidak ada juga isitilah kota.
Banyak potensi yang ada di desa. Sekarang-sekarang sudah mulai muncul inovasi dari desa. Kalau saja inovasi dari desa bermunculan, kemungkinan akan menjadi langkah optimis Indonesia maju.
Pemuda desa adalah masa masa depan Indonesia. Merekalah yang berkontribusi membangun desa. Paradigma kita terhadap desa harus lebih luas, bukan hanya soal finansial yang sering dikategorikan miskin. Jangan malu menjadi pemuda desa. Kalau saya justru bangga menjadi pemuda desa. Tidak apa tinggal di desa, tapi gaji melebihi orang kota.
Semangat selalu pemuda desa, termasuk saya. Mari kita berkontribusi untuk desa. Kalau tidak bisa terjun langsung bisa dengan cara lain. Ada banyak cara untuk berkontribusi pada desa. Kita jadikan desa sebagai aset emas bangsa Indonesia. Kita jadikan desa kita maju dan mulai memanfaatkan teknologi tanpa merusak lingkungan. Pemuda desa untuk Indonesia.
Posting Komentar